Warung Bebas
Tampilkan postingan dengan label Tokoh Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh Agama. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Desember 2011

Biografi KH. Ahmad Dahlan - Pendiri Muhammadiyah

Biografi KH. Ahmad DahlanKyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).

Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.

Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo - organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia.
Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam.

Madrasah Muhammadiyah Pertama
Bagi Kiai Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur'an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati.

Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur'an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.

Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.

Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal dengan nama Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.

Novel Sang Pencerah Ahmad Dahlan
Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.
Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang.

Ketika mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan dituduh sebagai kiai palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa melakukan suatu pembaruan ajaran agama (mushlih) pastilah menimbulkan gejolak dan mempunyai risiko. Dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima perubaban yang diajarkannya.
Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan yang diajarkannya. Segala tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat mengangkat derajat umat dan bangsa ke taraf yang lebih tinggi. Usahanya ini ternyata membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Banyak golongan intelektual dan pemuda yang tertarik dengan metoda yang dipraktekkan Kiai Dahlan ini sehingga mereka banyak yang menjadi anggota Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.

Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan um’mat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan organisasi. Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah mengarang sesuatu kitab atau buku agama.

Logo Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai organisasi tempat beramal dan melaksanakan ide-ide pembaruan Kiai Dahlan ini sangat menarik perhatian para pengamat perkembangan Islam dunia ketika itu. Para sarjana dan pengarang dari Timur maupun Barat sangat memfokuskan perhatian pada Muhammadiyah. Nama Kiai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia.
Dalam kancah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, peranan dan sumbangan beliau sangatlah besar. Kiai Dahlan dengan segala ide-ide pembaruan yang diajarkannya merupakan saham yang sangat besar bagi Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20.

Kiai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH. Muhammad Shaleh di bidang ilmu fikih; dari KH. Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa); dari KH. Raden Dahlan di bidang ilmu falak (astronomi); dari Kiai Mahfud dan Syekh KH. Ayyat di bidang ilmu hadis; dari Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran, serta dari Syekh Hasan di bidang ilmu pengobatan dan racun binatang.

Makam KH Ahmad Dahlan
Pada usia 66 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27 Desember 1961.

Referensi :

- http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan
- http://www.pendongeng.com/biografi-tokoh-indonesia/528-biografi-kh-ahmad-dahlan.html

Kumpulan Biografi Tokoh Terkenal dan Tokoh Indonesia Lengkap www.kolom-biografi.blogspot.com

Selasa, 27 September 2011

Biografi Uztadz Arifin Ilham

arifin ilham, tokoh, agama, biografi, uztadzKH Muhammad Arifin Ilham atau di kenal sebagai uztadz Arifin Ilham lahir di Banjarmasin, 8 Juni 1969, Arifin Ilham adalah anak kedua dari lima bersaudara, dan dia satu-satunya anak lelaki. Ayah Arifin masih keturunan ketujuh Syeh Al-Banjar, ulama besar di Kalimantan, sementara ibunya, Hj. Nurhayati, kelahiran Haruyan, Barabay, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Setahun setelah menikah, pasangan ini melahirkan putri pertama mereka tahun 1967. Karena anak pertama mereka perempuan, betapa bahagianya mereka ketika anak keduanya adalah laki-laki.

Nurhayati mengatakan bahwa saat hamil anak keduanya itu, ia merasa biasa-biasa saja, tidak ada tanda-tanda khusus. Hanya, berbeda dengan keempat putrinya, saat dalam kandungan, bayi yang satu ini sangat aktif. Tendangan kakinya pun sangat kuat, sehingga sang ibu acapkali meringis menahan rasa sakit.

Bayi yang lahir tanggal 8 Juni 1969 itu kemudian diberi nama Muhammad Arifin Ilham. Berbeda dengan keempat saudaranya yang lain, yang saat lahir berat mereka rata-rata 3 kilogram lebih, bayi yang satu ini beratnya 4,3 kilogram dengan panjang 50 sentimeter. “Anehnya, bayi itu sejak lahir sudah bergigi, yaitu di rahang bagian atasnya,” kenang Nurhayati.

Bayi itu selanjutnya tumbuh sehat. Usia setahun sudah bisa berjalan dan tak lama setelah itu ia mulai bisa berbicara. Setelah Siti Hajar, satu demi satu adik Arifin pun lahir. Yaitu, Qomariah yang lahir tanggal 17 Mei 1972 dan si bungsu Fitriani yang lahir tanggal 24 Oktober 1973.

Saat berusia lima tahun, Arifin dimasukkan oleh ibunya ke TK Aisyiah dan setelah itu langsung ke SD Muhammadiyah tidak jauh dari rumahnya di Banjarmasin. Arifin mengaku, saat masih di SD itu ia tergolong pemalas dan bodoh. “Kata orang Banjarmasin, Arifin itu babal. Arifin baru bisa baca-tulis huruf Latin setelah kelas 3,” kenang Arifin yang setiap kali berbicara tentang dirinya selalu menyebut namanya sendiri.

Di SD Muhammadiyah ini Arifin hanya sampai kelas 3, karena berkelahi melawan teman sekelasnya. Masalahnya, dia tidak rela ada salah seorang temannya yang berbadan kecil diganggu oleh teman sekelasnya yang berbadan cukup besar. Arifin kalah berkelahi karena lawannya jagoan karate. Wajahnya babak belur dan bibirnya sobek. Agar tidak berkelahi lagi, oleh ayahnya Arifin kemudian dipindahkan ke SD Rajawali.

Rumah tempat tinggal orang tua Arifin terletak di Simpang Kertak Baru RT 7/RW 9, kota Banjarmasin, tepat di sebelah rumah neneknya, ibu dari ibunda Arifin. Sebagai pegawai Bank BNI 46, ayahnya sering kali bertugas ke luar kota Banjarmasin, kadang-kadang sampai dua-tiga bulan. Ayah Arifin mengakui bahwa ia tidak banyak berperan mendidik kelima anaknya, sehingga akhirnya yang banyak berperan mendidik Arifin adalah istri dan ibu mertuanya. Arifin mengungkapkan bahwa cara mendidik kedua orang tua itu keras sekali. “Baik Mama maupun Nenek kalau menghukum sukanya mencubit atau memukul. Dua-duanya turunan, kalau nyubit maupun memukul keras dan sakit sekali,” canda ustad muda itu.

pria kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 8 Juni 1969, ini termasuk seorang penyayang binatang. Di rumah ibu angkatnya di Jakarta, ia banyak memelihara binatamg, antara lain burung hantu, kera, dan ayam kate.

Awal April 1997, ia diberi seekor ular hasil tangkapan warga kampung yang ditemukan di semak belukar. Karena kurang hati-hati Arifin digigit binatang melata ini. Namun, ia tidak menyadari kalau dirinya keracunan. Sewaktu dalam perjalanan dengan mengendari mobil, ia pun merasakan sesuatu yang tidak biasa, tubuhnya terasa panas, meradang, dan membiru.

Melihat keadaan Arifin yang demikian, ibu angkatnya Ny Cut mengambil alih kemudi, menuju rumah sakit terdekat. Namun, beberapa rumah sakit menolak dengan alasan peralatan medis yang tidak memadai. Bahkan sejumlah dokter di beberapa rumah sakit tersebut memvonis, umur Arifin tinggal satu persen. Karena sulitnya mendapatkan pertolongan selama 11 jam, keadaan Arifin makin gawat.

Detak jantungnya melemah. Melihat kondisi anak angkatnya yang makin parah, Ny Cut mencoba mendatangi RS Saint Carolus (Jakarta Pusat). Alhmadulilah pihak rumah sakit menerimanya. Arifin langsung ditempatkan di ruang ICU. Infus pun dipasang di tubuhnya. Untuk membantu tugas paru-paru, jantung, dan hatinya yang telah sangat lemah, dokter memasukkan beberapa batang selang ke mulutnya.

Dengan pertolongan Allah, setelah satu bulan lima hari pihak rumah sakit menyatakan ia telah melewati masa kritis dan memasuki masa penyembuhan. Walaupun kondisinya telah jauh lebih baik, Arifin mengalami perubahan pada suaranya. Menurut analisa dokter, hal ini disebabkan oleh pemasangan beberapa selang sekaligus dalam mulutnya untuk waktu yang cukup lama.

Tapi tidak ada yang mengetahui rencana Allah, justru dengan suaranya itu, Arifin menjadi lebih mudah dikenal para jamaah hanya dengan mendengar suaranya. Seperti diceritakan Arifin, selama masa kritis, ia mendapatkan pengalaman spiritual yang sangat luar biasa. Di alam bawah sadarnya ia merasa berada di sebuah kampung yang sangat sunyi dan sepi.

arifin ilham, tokoh, agama, biografi, uztadz
Setelah berjalan-jalan sekeliling kampung, ditemuinya sebuah masjid, yang kemudian dimasukinya. Di dalam masjid ternyata sudah menunggu tiga shaf jamaah dengan mengenakan pakaian putih. Salah satu jamaah kemudian memintanya memimpin mereka berzikir, mengingat Allah SWT.

Keesokan harinya ia kembali bermimpi. Hanya saja sedikit berbeda. Kali ini ia merasa berada di tengah kampung yang penduduknya berlarian ketakutan karena kedatangan beberapa orang yang dianggap sebagai jelmaan setan. Melihat kehadirannya, para penduduk pun berteriak dan meminta dirinya menjadi penolong mereka mengusir setan-setan tersebut.

Hari berikutnya ia kembali bermimpi. Kali ini ia diminta oleh seorang bapak untuk mengobati istrinya yang sedang kesurupan. Mendengar permintaan bapak tersebut, Arifin bergegas, tapi Allah berkehendak lain. Istrinya ternyata telah meninggal sebelum sempat ditolong Arifin. Berbekal pengalaman-pengalaman gaib yang ia alami, Arifin pun memantapkan hatinya untuk menjadi pengingat manusia agar tidak lupa berzikir.

Banyak kegiatan yang dilakukannya. Salah satu yang paling berkesan adalah memimpin zikir untuk para narapidana di Cipinang. Menurut Arifin, kegiatan ini memberikan dampak yang sangat dalam sehingga banyak di antara narapidana tidak sanggup membendung air matanya, menyesali dosa-dosanya.

Meskipun banyak hujatan, Arifin juga telah melakukan zikir di LP Nusakambangan, yang antara lain juga diikuti oleh Tommy Suharto. Tahun 1998, Arifin mengisi ceramah di sebuah rumah di kawasan Condet, Jakarta Timur. Di sinilah ia bertemu dengan Wahyuniati Al-Waly, seorang muslimah yang taat, yang kemudian menjadi pendampingnya.

Tidak berapa lama setelah pertemuan itu, ia bermimpin di depan Ka'bah dengan Yuni berdiri disampingnya dengan menggunakan baju putih bersih. Dengan penasaran, pagi harinya ia menelpon Abah (panggilan Arifin untuk ayahnya), menanyakan perihal mimpinya. Abahnya mengartikan bahwa Yuni adalah jodoh yang diberikan Allah kepadanya. Maka keduanya pun naik ke pelaminan pada 28 April 1998.

Yuni yang ternyata adik kelasnya di Fisipol Unas menilai sosok suaminya sebagai seorang yang baik, romantis, penyayang, pintar, dan kuat landasan agamanya. Ketika ditanya jadual acaranya yang demikian padat, Arifin dengan merendah menyatakan, Alhamdulillah hingga kini ia masih diberikan kesempatan untuk selalu shalat tahajud tiap pukul tiga pagi hingga subuh.

Sekalipun ia tidur hanya sekitar tiga jam, tapi saat berada di kendaraan menuju tempat acara zikir ia menyempatkan diri untuk tidur di mobil. Menurut Arifin, acaranya sudah terisi hingga akhir Agustus mendatang. Ada satu hal yang dipegang oleh dai kelahiran Banjarmasih ini, yakni memegang janji.

Karenanya, tiga kali ia terpaksa menolak permintaan Sekretariat Negara agar berdakwah bersama Presiden Megawati. ''Saya tidak mau kecewakan masyarakat yang telah jauh hari menunggu-nunggu kedatangan saya,'' ujarnya. Arifin mengaku, menjelang pemilu 2004 ini sudah ada parpol yang memintanya agar ia berkampanye untuk partai tersebut. Bahkan ada dari partai besar, yang menjamin bahwa ia nantinya paling sedikit akan menjadi anggota DPR.

''Tapi, saya ingin sebagai rantai (tali) tasbih, yang dapat menampung semua umat,'' ujar dai yang tinggal di Depok sejak 1999 ini. Sikapnya untuk selalu menjadi 'rantai tasbih' itu ternyata 'berbuah manis'. Setiap acara zikir yang dipimpinnya selalu dipadati jamaah dari berbagai kalangan dan status. Minimal, pemandangan ini tampak ketika ia memimpin zikir di Masjid Al-Amr Bittaqwa di Perumahan Mampang Indah II, Depok, Ahad (4/5) lalu.

Sejak pukul 06.00 pagi, masjid yang hanya bisa menampung 500 orang itu sudah dipadati jamaah. Mereka yang hadir belakangan lalu ditampung di tenda-tenda sekitar masjid. Menjelang pukul 08.00, yang tampak adalah lautan manusia berwarna putih warna kopiah dan busana sebagian besar jamaah. Tepat pukul delapan, Arifin datang dan langsung menuju panggung di depan masjid.

Ia didampingi Presiden Partai Keadilan Dr Hidayat Nurwahid, mantan KASAD Jenderal (Purn) Harsono, Habib Abdurahman Semith yang datang bersama belasan kyai dari Semarang, ketua Jamiatul Muslimin Indonesia Habib Husein Alhabsji, dan sejumlah ulama lainnya. Berikutnya, selama dua jam, ribuan jamaah Majelis Zikir Az-Zikra, nama yang diberikan Arifin untuk majelisnya, hanyut dan histeris dalam ritual zikir.

Begitu syahdunya acara zikir ini, tidak peduli pengusaha, artis, sutradara, dan berbagai profesi yang datang ke acara itu dari berbagai tempat di Tanah Air, meneteskan air mata. Bahkan banyak yang terisak-isak. Arifin sendiri terus menyeka air matanya yang terus menerus mengalir dengan dua saputangan yang dibawanya.

Namun, menurut Arifin, tangis bukan termasuk ritual zikir. Zikir pun, katanya, tidak juga sekadar duduk dan memanjatkan puja-puji kepada Allah SWT. ''Yang terpenting dari zikir adalah, di dalam hati harus selalu ingat dan merasakan kehadiran Allah SWT,'' jelas ayah dua anak ini. Arifin membagi zikir meliputi empat hal.

Pertama, zikir hati senantiasa mengingat Allah dalam hati. Kedua, zikir akal, yang berarti mampu menangkap bahasa Allah dalam gerak alam semesta. Ketiga, zikir lisan, yang berupa ucapan asma Allah terjemahan dari kata hati. Keempat, zikir amal yang merupakan aplikasi takwa. Sedangkan anjurannya agar para jamaah zikirnya berbusana putih-putih, Arifin mengemukakan filosofinya. Putih, kata alumnus Fiskipol Unas ini, adalah warna yang melambangkan kesucian dan warna yang sangat disukai Rasulullah SAW.

Referensi :

- http://biografiustadzmuda.blogspot.com/2009/11/profil-ustadz-arifin-ilham.html
- http://mygodisone.blogspot.com/2009/07/biografi-ustad-arifin-ilham.html
Kumpulan Biografi Tokoh Terkenal dan Tokoh Indonesia Lengkap www.kolom-biografi.blogspot.com

Biografi Bilal Bin Rabah - Muazin Rasulullah SAW

Bilal Bin Rabah Al-Habasyi lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam). Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Makah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abdud-dar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir Quraisy.

Ketika Makah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.

Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci-maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!” Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah1 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas2. Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.” Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”

Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.” Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi. Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan adzan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan adzan (muadzin) dalam sejarah Islam.


Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Makkah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama “sang pengumandang panggilan langit”, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan adzan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Makah. Sementara Al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.” Al-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”

Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.” Bilal menjadi muadzin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”

Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan nafas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan adzan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan adzan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan adzan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, Ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.” Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan adzan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.” Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan adzan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiyallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.

Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”



Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan adzan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan adzan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.

Referensi :

- http://abihumaid.wordpress.com/2008/06/18/bilal-bin-rabah-al-habasyi-wafat-20-h641-m/

Kumpulan Biografi Tokoh Terkenal dan Tokoh Indonesia Lengkap www.kolom-biografi.blogspot.com

Senin, 26 September 2011

Biografi Uztadz Yusuf Mansur

Ustadz Yusuf Mansur lahir 19 Desember 1976 di jakarta, dari keluarga Betawi yang berkecukupan pasangan Abdurrahman Mimbar dan Humrif’ah dan sangat dimanja orang tuanya. Lulusan terbaik Madrasah Aliyah Negeri 1 Grogol, Jakarta Barat, tahun 1992 ini pernah kuliah di jurusan Informatika namun berhenti tengah jalan karena lebih suka balapan motor. Pada tahun 1996, dia terjun di bisnis Informatika. Sayang bisnisnya malah menyebabkan ia terlilit utang yang jumlahnya miliaran. Gara-gara utang itu pula, Ustadz Yusuf merasakan dinginnya hotel prodeo selama 2 bulan. Setelah bebas, Ustadz Yusuf kembali mencoba berbisnis tapi kembali gagal dan terlilit utang lagi. Cara hidup yang keliru membawa Ustadz Yusuf kembali masuk bui pada 1998.

Saat di penjara itulah, Ustadz Yusuf menemukan hikmah tentang shodaqoh. Selepas dari penjara, Ustadz Yusuf berjualan es di terminal Kali Deres. Berkat keikhlasan sedekah pula, akhirnya bisnis Ustadz Yusuf berkembang. Tak lagi berjualan dengan termos, tapi memakai gerobak, Ia juga mulai punya anak buah.

Hidup Ustadz Yusuf mulai berubah saat ia berkenalan dengan polisi yang memperkenalkannya dengan LSM. Selama kerja di LSM itulah, Ustadz Yusuf membuat buku Wisata Hati Mencari Tuhan Yang Hilang. Buku yang terinspirasi oleh pengalamannya di penjara saat rindu dengan orang tua. Tak dinyana, buku itu mendapat sambutan yang luar biasa. Ustadz Yusuf sering diundang untuk bedah buku tersebut. Dari sini, undangan untuk berceramah mulai menghampirinya. Di banyak ceramahnya, ia selalu menekankan makna di balik sedekah dengan memberi contoh-contoh kisah dalam kehidupan nyata.

Karier Ustadz Yusuf makin mengkilap setelah bertemu dengan Yusuf Ibrahim, Produser dari label PT Virgo Ramayana Record dengan meluncurkan kaset Tausiah Kun Faya Kun, The Power of Giving dan Keluarga. Konsep sedekah pula yang membawanya masuk dunia seni peran. Melalui acara Maha Kasih yang digarap Wisata Hati bersama SinemArt, ia menyerukan keutamaan sedekah melalui tayangan yang didasarkan pada kisah nyata.


Ustadz Yusuf juga menggarap sebuah film berjudul KUN FA YAKUUN yang dibintanginya bersama Zaskia Adya Mecca, Agus Kuncoro, dan Desy Ratnasari. Film ini merupakan proyek pamungkas dari kegiatan roadshow (ceramah keliling) berjudul sama selama Januari-April 2008. Melalui Wisata Hati, ia menyediakan layanan SMS Kun Fayakuun untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang ada. Ia juga menggagas Program Pembibitan Penghafal Al Quran (PPPA), sebuah program unggulan dan menjadi laboratorium sedekah bagi seluruh keluarga besar Wisatahati. Donasi dari PPPA digunakan untuk mencetak penghafal Alquran melalui pendidikan gratis bagi dhuafa Pondok Pesantren Daarul Quran Wisatahati.


Meski tak sempat menuntaskan kuliah, Ustadz Yusuf bersama dua temannya mendirikan perguruan tinggi Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Cipta Karya Informatika. Ustadz Yusuf menikah dengan Siti Maemunah dan telah dikaruniai tiga orang anak.

Referensi :

- http://annastacy.wordpress.com/2009/04/19/biografi-ustad-yusuf-mansur/
Kumpulan Biografi Tokoh Terkenal dan Tokoh Indonesia Lengkap www.kolom-biografi.blogspot.com
 

BIOGRAFI Copyright © 2012 Fast Loading -- Powered by Blogger